Rabu, 23 Maret 2011

IMAN DAN LOGIKA DALAM PANDANGAN ANSELMUS MENGENAI ALLAH

Nama : Martinus Handoko

NIM : 100510017

Semester : 2 (dua)

Mata Kuliah : Sejarah Filsafat Patristik dan Abad Pertengahan

Dosen : Dr. Laurentius Tinambunan

IMAN DAN LOGIKA

DALAM PANDANGAN ANSELMUS MENGENAI ALLAH

Abstraksi

Santo Anselmus dari Cantebury adalah filsuf dan teolog Kristen yang terkemuka pada abad ke sebelas. Anselmus mengarang beberapa karya yang penting dalam bidang teologi. Ia bermaksud meneruskan gaya pemikiran Agustinus. Anselmus berkeyakinan bahwa iman berikhtiar menemukan pemahaman atau pengertian (fides quaerens intellectum). Bagi Anselmus, iman selalu merupakan titik tolak pemikiran dan isi ajarannya. Sebab iman itu tidak dapat dibantah oleh alasan-alasan rasional.

Pandangan Anselmus tentang hubungan antara rasio dan iman disingkat dengan semboyan ”credo ut intelligam” (saya percaya supaya saya mengerti). Maksudnya ialah melalui kepercayaan kristiani, kita dapat mencapai pengertian lebih mendalam tentang Allah, manusia, dan dunia. Berhubungan erat dengan pendirian ini, dalam karya yang berjudul Proslogian ia memberikan bukti akan adanya Allah yang menjadi masyur dalam sejarah filsafat. Ia memperkenalkan “ontological argument” untuk membuktikan adanya Allah.

I. PENDAHULUAN

Anselmus dari Canterbury adalah seorang teolog besar dan pakar spiritualitas dalam tradisi Benediktin. Ia adalah seorang ahli kristen yang mencoba memasukkan logika dalam pelayanan iman. Anselmus membuat pernyataan terkenal, ”Saya percaya agar dapat mengerti” dalam karyanya Proslogium yang pada awalnya berjudul Iman Mencari Pengertian. Dalam pernyataan itu dinyatakan bahwa mereka yang mencari kebenaran harus bertitik tolak pada iman. Pernyataan Anselmus ini kemudian menjadi terkenal dan banyak memikat para filsuf dan teolog sepanjang masa. Bahkan, pada zaman sesudahnya diakui betapa penting dialektika (berpikir dengan akal) bagi ilmu teologia.

II. RIWAYAT HIDUP

Anselmus dari Canterbury dilahirkan di Aosta Piemont, Italia sekitar tahun 1033. Ia adalah seorang putera bangsawan comberdia. Ayahnya bernama Gundulph dan ibunya bernama Ermenberga.[1] Anselmus adalah pelajar pertama yang menjadi seorang biarawan. Ia dipilih menjadi abbas pada usia 45 tahun. Lima belas tahun kemudian ia diangkat menjadi uskup agung Cantebury, yaitu pada tahun 1093. Sejak saat itu kehidupan Anselmus terus diwarnai oleh pertentangan dengan raja William II dan Henri I mengenai hak Gereja dan negara. Anselmus menghendaki supaya uskup-uskup dipilih dengan bebas tanpa campur tangan negara. Namun, William II mengancam dan akan memecat uskup agung itu, sehingga Anselmus melarikan diri ke Roma selama tiga tahun. Anselmus kembali ke Inggris ketika Henry I naik tahta. Tapi segera disusul oleh perselisihan lagi Henry I menuntut hak atas pengangkatan uskup dan abbas. Anselmus mengungsi ke Roma untuk yang kedua kalinya. Anselmus meninggal pada tahun 1109 dan dikanonisasi pada 1494.[2]

III. ALLAH DALAM TERANG IMAN DAN LOGIKA

Salah satu gagasan yang dikembangkan dan digunakan oleh Anselmus dalam berteologi dan berfilsafat ialah pemikiran dialektika. Ia bergumul dengan peran cinta dan intelek, sehingga ia tidak begitu yakin, bahwa daya pikirlah yang mendorong dan membimbing orang untuk sampai kepada Allah.[3] Pengembangan pemikiran ini tidak dimaksudkan hanya dengan akal (rasio) saja yang mampu atau dapat menghantar setiap orang menjadi yakin dan percaya, akan tetapi perlu sebuah pemikiran yang lebih kritis akan suatu kebenaran. Hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan dirumuskan oleh Anselmus dengan: fides quaerens intellectum (iman berusaha untuk mengerti).[4] Melalui iman setiap orang dihantar kepada suatu pengertian. Iman dijadikan sebagai dasar memahami segala sesuatu di atas rasio. Pandangan Anselmus tentang hubungan antara rasio dan iman disingkat dengan semboyan “Credo ut intelligam” (saya percaya supaya saya mengerti). Maksudnya ialah melalui kepercayaan kristiani orang dapat mencapai pengertian lebih mendalam tentang Allah, manusia, dan dunia.

Anselmus mengetengahkan dua judul karya untuk membuktikan adanya Allah yakni; Monologion dan Proslogion.[5] Diantara kedua karya tersebut yang lebih menjadi sorotan dan perdebatan di antara filsuf dan teolog ialah Proslogion[6], bahkan sampai pada abad sekarang ini. Tulisan-tulisan tersebut memuat argumen-argumen ontologinya mengenai keberadaan Allah. Beberapa tokoh pemikir yang cukup tertarik dan mempermasalahkan karya itu diantaranya; Bonaventura, Thomas Aquinas, Dun Scotus, Descartes, Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, hingga beberapa filsuf analisis bahasa abad XX.

Menurut Anselmus ada dua cara yang dapat membuktikan adanya Allah. Kedua cara tersebut adalah dengan mengandaikan bahwa hal-hal yang terbatas ada untuk hal-hal yang tidak terbatas dan penguraian, yaitu bahwa apa yang kita sebut Allah adalah suatu ”ada” yang lebih besar daripada apa saja yang dapat kita pikirkan.[7]

Pertama, ketika Anselmus melihat adanya hal-hal yang terbatas, serentak ia juga mengandaikan adanya hal-hal yang tidak terbatas. Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu untuk sampai kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam dan sungguh-sungguh mendasar. Ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan begitu saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan adanya hal-hal yang tidak terbatas.

Cara kedua, yang digunakan oleh Anselmus untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa yang kita sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang bisa kita pikirkan. Cara kedua yang dipaparkan oleh Anselmus ini tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran. Teori ini ingin mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan pengertian-pengertian ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu pemahaman yang semu, seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu itulah yang menurut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu.

Jalan pikiran Anselmus dalam bukti ini dirumuskan secara singkat sebagai berikut:

  1. Kita semua satu bahwa dengan nama “Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi (“id quo nihil maius cogitari potest”). Dengan perkataan lain, dengan nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat dipikirkan.
  2. Tidak mungkin hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam pemikiran saja, karena hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar lagi ialah berada dalam kenyataan. Supaya
  3. Pada suatu kesimpulan bahwa Allah tidak hanya berada dalam pemikiran manusia, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh ada.[8]

Pemikiran yang dikembangkan oleh Anselmus kurang lebih sama dengan pemikiran Agustinus dan Johanes Scotus Eriugena. Anselmus percaya bahwa iman adalah langkah awal untuk mengerti, dan bukan sebaliknya.[9] Anselmus mengemukakan bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, karena akal manusia tidak mampu untuk menyatakan suatu kebenaran itu. Wahyu yang diturunkan merupakan suatu kebenaran yang mutlak. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa iman bersifat bebas dan tidak terikat, serta tidak memerlukan dasar-dasar akali. Namun demikian setiap orang tetap memiliki kepastian karena iman, maka dengan sendirinya iman akan mendorong akal untuk menyelami kebenaran-kebenaran iman lebih lanjut.

IV. PENUTUP

Menurut Anselmus iman adalah langkah awal untuk mengerti Allah , dan bukan sebaliknya. Untuk itu orang yang mencari kebenaran akan Allah harus bertitik tolak pada iman. Menurutnya, iman yang mendalam, disertai dengan pengetahuan akali, akan memberi suatu pandangan yang lebih mendalam atas segala sesuatu, baik tentang Allah, manusia maupun dunia. Dengan demikian, suatu kebenaran yang terkandung di dalam Kitab Suci, mampu dijelaskan secara rasional serta mendalam. Argumentasi ontologisnya (informasi yang dapat mengarah ke penemuan sesuatu yang penting) menghantarkan suatu pemahaman kepada suatu kepercayaan dan keyakinan akan Allah.

BIBLIOGRAFI

Baird, Forrest E dan Walter Kaufmann. Medieval Philosophy Second Edition Volume II. U.S.A: New Jersey, 1997.

Bertens, Kees. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1976.

Copleston, Frederick. A History of Philosophy volume II. London: Burns Oates Washbourne, 1950.

Cornish, Rick. 5 Menit Sejarah Gereja. Bandung: Pionir Jaya, 2007.

Heuken, Adolf. Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua puluh Abad. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Gwinn, Robert P., dkk. The Encylopaedia Britanica Volume I. Chicago: The University of Chicago, 1985.



[1] Robert P. Gwinn, dkk. ”The Encylopaedia Britanica Volume I”, (Chicago: The University of Chicago, 1985), hlm. 434.

[2] Forrest E. Baird dan Walter Kaufmann, “Medieval Philosophy Second Edition Volume II”, (U.S.A: New Jersey, 1997), hlm. 157.

[3] Adolf Heuken, ”Spiritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua puluh Abad”, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), hlm. 83.

[4] Simon Petrus L. Tjahjadi, “Petualangan intelektual”, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 123.

[5] Frederick Copleston, ”A History of Philosophy volume II”, (London: Burns Oates Washbourne, 1950), hlm. 161.

[6] Proslogion (Salam atau Kata Pendahuluan), terbit tahun 1077. Buku ini memuat pembuktian ontologis mengenai adanya Allah. Buku ini ingin memuat satu argumen saja yang memadai dan yang dapat menggantikan banyak argumen tentang eksistensi Allah; argumen ini diharapkan dapat menerangkan ciri kemahakuasaan-Nya, semua ciri yang kita dapat katakan ada pada Allah. Dalam bab pertama buku ini, Anselmus berdoa dengan khusyuk, ”Aku bukannya mencoba menyelidiki kebesaran-Mu, ya Tuhan, sebab akal budiku sama sekali tidak sebanding dengan kebesaran-Mu itu, tetapi aku ingin sedikit memahami kebenaran-Mu yang dipercayai dan dicintai hatiku. Dan aku tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, melainkan aku percaya agar bisa memahami (credo, ut intelligam). Sebab, aku pun mengakui bahwa aku tidak akan mampu memahami, kalau aku tidak percaya” (dari Proslogion, Bab I, diterjemahkan oleh R. Allers, Köln, hlm. 197, lihat juga Leahy, hlm. 135). Dengan demikian, iman adalah titik pangkal pemikiran Anselmus, sebagaimana juga pada Agustinus.

[7] Kees Bertens, “Ringkasan Sejarah Filsafat”, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 25.

[8] Kees Bertens, “Ringkasan..., hlm. 24.

[9] Rick Cornish, “5 Menit Sejarah Gereja”, (Bandung: Pionir Jaya, 2007), hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar